
Bagi Wajib Pajak yang bekerja sebagai pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas memiliki karakteristik penghitungan PPh yang sedikit berbeda dengan pegawai tetap.
Dalam pasal 21 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa:
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh: a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai…
Pasal tersebut memuat salah satu pihak yang dilakukan pemotongan PPh, yaitu pegawai. Menurut peraturan perpajakan, pegawai dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- Pegawai tetap, yaitu pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
- Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Selain dua jenis pegawai tersebut, sebenarnya ada istilah yang disebut dengan penerima penghasilan bukan pegawai. Namun, istilah tersebut tidak akan dibahas dalam panduan ini.
Salah satu jenis penghasilan yang diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga harian lepas adalah upah. Upah tersebut terdiri dari 4 jenis, yaitu:
- upah harian, upah atau imbalan yang diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian;
- upah mingguan, upah atau imbalan yang diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan;
- upah satuan, upah atau imbalan yang diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan;
- upah borongan, upah atau imbalan diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
Daftar Isi
Cara Menghitung PPh Pasal 21 atas Upah Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Harian Lepas
Dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-16/PJ/2016 dijelaskan bahwa untuk menghitung PPh atas penghasilan yang diterima/diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga harian lepas berupa upah harian, mingguan, satuan, atau borongan diterapkan ketentuan sebagai berikut:
- Upah harian yang belum melebihi Rp450.000,00/hari dan jumlah kumulatif yang diperoleh dalam bulan yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
- Jika upah harian melebihi Rp450.000,00/hari dan jumlah kumulatif yang diperoleh dalam bulan yang bersangkutan sudah melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang dipotong = (upah harian – Rp450.000,000) x 5%.
- Jika upah kumulatif yang diperoleh dalam bulan yang bersangkutan sudah melebihi Rp4.500.000,00, dan kurang dari Rp10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 yang dipotong = (upah harian – PTKP sehari) x 5%.
- PTKP sehari = nilai PTKP setahun/360. Misal, jika pada tahun 2018 WP berstatus TK/0, maka PTKP seharinya = Rp54.000.000,00/360 = Rp150.000,00.
- Jika upah kumulatif yang diperoleh dalam 1 bulan sudah melebihi Rp10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam 1 bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP. PPh Pasal 21 yang dipotong = PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
Untuk mempermudah pemahaman Anda, simak contoh di bawah ini. [Panduan ini menyajikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai tidak tetap berupa upah harian].
Untuk contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas upah satuan dan borongan, Anda dapat mengeklik tautan: PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap – Upah Satuan dan Borongan.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Upah [Kasus 1]
Januari 2018, Tuan JW (TK/0) bekerja sebagai tenaga kerja harian di PT Tahu Banget. Ia bekerja selama 25 hari dan menerima upah harian sebesar Rp250.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
Upah sehari |
250.000 |
Dikurangi batas upah harian yang tidak kena PPh |
450.000 |
Penghasilan Kena Pajak sehari |
0 |
PPh Pasal 21 yang dipotong |
0 |
Sampai dengan hari ke- 18, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp4.500.000,00 (PTKP sebulan), maka tidak ada pemotongan PPh Pasal 21.
Pada hari ke-19, jumlah kumulatif upah yang diterima Tuan JW sudah melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 terutangnya dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP sebenarnya. Penghitungannya sebagai berikut:
Upah s.d. hari ke-19 |
4.750.000 |
PTKP sebenarnya 19 x (54.000.000/360) |
2.850.000 |
Penghasikan Kena Pajak s.d. hari ke-19 |
1.650.000 |
PPh Pasal 21 terutang 5% x 1.650.000 |
82.500 |
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-18 |
0 |
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-19 |
82.500 |
Pada hari ke-19, upah bersih yang diterima Tuan JW adalah sebesar RP167.500,00 (Rp250.000,00 – Rp82.500,00).
Pada hari ke-20 dan hari-hari berikutnya s.d. hari ke-25, penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
Upah sehari |
250.000 |
PTKP sehari (54.000.000/360) |
150.000 |
Penghasilan Kena Pajak sehari |
100.000 |
PPh Pasal 21 terutang: 5% x 100.000 |
5.000 |
Pada hari ke-20 s.d. hari ke-25, Tn. JW menerima upah bersih sebesar Rp245.000,00 (Rp250.000,00 – Rp5000,00).
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Upah [Kasus 2]
Tuan CB (TK/0) pada bulan Agustus bekerja pada PT Tua Keladi. Ia menerima upah sebesar Rp750.000,00 per hari.
Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
Upah sehari |
750.000 |
Batas upah harian yang tidak kena PPh |
450.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
300.000 |
PPh Pasal 21 terutang sehari = 5% x 300.000 |
15.000 |
Pada hari ke-7 bulan Agustus, Tuan CB telah menerima upah sebesar Rp5.250.000,00, sehingga telah melebihi Rp4.500.000,00. Maka penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut:
Upah 7 hari kerja = 7 x 750.000 |
5.250.000 |
PTKP 7 hari = 7 x (54.000.000/360) |
1.050.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
4.200.000 |
PPh Pasal 21 |
210.000 |
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-6 = 6 x 15.000 |
90.000 |
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7 |
120.000 |
Upah yang diterima Tuan CB pada hari ke-7 adalah sebesar Rp630.000,00 (Rp750.000,00 – Rp120.000,00).
Pada hari ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong per hari adalah:
Upah sehari |
750.000 |
PTKP sehari |
150.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
600.000 |
PPh Pasal 21 terutang = 5% x 600.000 |
30.000 |
Upah bersih yang diterima pada hari ke-8 dan seterusnya pada bulan agustus adalah sebesar Rp720.000,00 (Rp750.000,00 – Rp30.000,00).
Jika pada bulan Agustus Tuan CB bekerja selama 14 hari, maka jumlah upah yang diterimanya adalah sebesar Rp10.500.000,00, sehingga telah melebihi Rp10.200.000,00. Maka penghitungan PPh Pasal 21 Tuan CB untuk bulan Agustus adalah:
Upah kumulatif bulan Agustus |
10.500.000 |
Upah bruto disetahunkan 12 x 10.500.000 |
126.000.000 |
PTKP |
54.000.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
72.000.000 |
PPh terutang: |
|
|
|
|
|
Jumlah |
5.800.000 |
PPh Pasal 21 bulan Agustus 5.800.000 : 12 |
483.333 |
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong (13 x 30.000) |
390.000 |
PPh Pasal 21 yang harus dipotong |
93.333 |
Dasar Hukum:
- UU Pajak Penghasilan
- PMK-102/PMK.03/2016
- PER-16/PJ/2016